Pages

Selasa, 16 Desember 2014

Job Creator vs Job Seeker



TUGAS 4

JOB CREATOR AND JOB SEEKER
Job creator atau pencipta lapangan pekerjaan, disebut juga berwirausaha adalah menciptakan sesuatu yang tidakada menjadi ada, dan berguna bagi manusia dengan tindakan kreatif dan inovatif. Wirausahawan cenderung menggunakan energinya untuk melakukan dan membangun suatu kegiatan. Seorang wirausahawan yang tahu bagaimana menemukan sesuatu, merangkai, dan mengendalikan sumber-sumber (yang kadang-kadang dimiliki oleh orang lain) untuk mewujudkan tujuannya. Menurut Richard Cantillon (1775) Kewirausahaan yang didefinisikan sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga tidak menentu. Joseph Schumpeter (1934), memberikan arti Wirausahawan adalah seorang inovator yang mengimplementasikan perubahan perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi baru tersebut bisa dalam bentuk (1) memperkenalkan produk baru atau dengan kualitas baru, (2) memperkenalkan metoda produksi baru, (3) membuka pasar yang baru (new market), (4) Memperoleh sumber pasokan baru dari bahan atau komponen baru, atau (5) menjalankan organisasi baru pada suatu industri. Schumpeter mengaitkan wirausaha dengan konsep inovasi yang diterapkan dalam konteks bisnis serta mengkaitkannya dengan kombinasi sumber daya. Penrose (1963), berujar bahwa Kegiatan kewirausahaan mencakup indentifikasi peluang-peluang di dalam system ekonomi. Kapasitas atau kemampuan manajerial berbeda dengan kapasitas kewirausahaan. Harvey Leibenstein (1968), Kewirausahaan mencakup kegiatan-kegiatann yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya. Peter F. Drucker, berpendapat bahwa Kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa seorang wirausahan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain. Atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Zimmerer dan Scarborough, berpendapat kewirausahaan sebagai suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha). Hal ini membuat pemerintah Indonesia kebingungan mengatasinya dikarenakan berkaitan dengan timpangnya struktur usaha (industri) yang terlalu memihak pada industri besar. Peran pemerintah ini juga bukan pada pemberian modal, tetapi lebih pada membina kemampuan industri kecil dan membuat suatu kondisi yang mendorong kemampuan industri kecil dalam mengakses modal, (Pardede, 2000). Atau dengan kata lain, pemerintah harus membina kemampuan industri kecil dalam menghitung modal optimum yang diperlukan, kemampuan menyusun suatu proposal pendanaan ke lembaga-lembaga pemberi modal, serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang lebih memihak industri kecil dalam pemberian kredit. 3. Pembenahan Dunia Pendidikan Pola pikir para sarjana yang umumnya masih berorientasi untuk menjadi karyawan harus diubah. Oleh Karena itu peran lembaga pendidikan sebagai pusat inkubasi pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, perlu di tata kembali. Struktur kurikulum kita yang cenderung menghasil lulusan yang ‘siap pakai’ bukan lulusan yang ‘siap menghasilkan’. 4. Optimalisasi Balai Pelatihan Kewirusahaan Mengoptimalkan balai latihan kerja (BLK). Dengan pengoptimalan BLK maka, kekurangan daya serap perguruan tinggi bisa diantisipasi. Disebutkannya, saat ini BLK belum begitu termanfaatkan untuk mengatasi pengangguran. Begitu pula dengan BLK-BLK, banyak yang belum berkembang dengan baik terutama dalam penyerapan para lulusan untuk masuk ke dunia kerja. "Saat ini, yang saya lihat belum ada perhatian pemerintah untuk pembenahan kearah itu, 5. Peningkatan akses modal Pemerintah melalui lembaga perbankan dan keuangan diminta membuka akses modal bagi calon wirausaha, karena selama ini mereka masih kesulitan mendapatkannya untuk meningkatkan taraf hidup. 6. Pendampingan calon wirausaha Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah pendampingan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, perbankan, konsultan, dan stakeholder lainnya sehingga memberikan kemudahan serta pencerahan bagi para calon wirausaha. Seringkali lemahnya pendampingan mengakibatkan modal usaha yang telah dibagikan kepada calon wirausaha, tidak terpakai dengan baik. Para calon wirausaha lebih sering melakukan konsumsi terhadap modal yang diberikan. Akibatnya, modal mereka terpakai habis sedangkan usaha belum dapat berjalan dengan baik. Kesimpulan Membangun semangat kewirausahaan yang tangguh ditengah tengah masyarakat kita yang masih mengantungkan harapan yang tinggi pada pilihan menjadi karyawan seringkali mengalami benturan. Jika kita menginginkan system perekonomian yang kuat maka mau tidak mau kita harus berubah, dengan mengambil pilihan sebagai seorang wirausaha. Wirausaha menyumbang begitu banyak pemasukan bagi bangsa kita, disamping mengurangi pengangguran. Selamat berwirausaha.
Job seeker atau pencari kerja adalah seseorang yang mencari pekerjaan dan bergantung pada orang lain yang memiliki lapangan pekerjaan untuk mendapatkannya
Banyak orang yang hanya ingin mencari pekerjaan yang layak, tanpa berfikir bahwa ia sebenarnya bisa menjadi pencipta lapangan pekerjaan itu sendiri. Padahal jauh lebih baik menjadi pencipta lapangan pekerjaan dari pada mencari pekerjaan itu sendiri. Dengan menciptakan lapangan pekerjaan, maka seseorang dapat membantu orang lain mendapatkan pekerjaan juga. Dengan kata lain, jika kita menjadi job seeker kita hanya akan menjadi karyawan seseorang, sedangkan juka kita menjadi job creator maka kita bisa menjadi bos atau pimpinan dari karyawan kita. Jadi apa yang kita pilih, menggaji atau digaji?? Menjadi karyawan atau menjadi bosnya?? Tangan diatas atau tangan di bawah??


Beberapa perbedaan antara job creator dan job seeker :
Job creator :
1.      Membuka lapangan pekerjaan
2.      Mandiri dan independen
3.      Lebih kreatif dan dinamis
4.      Tidak terikat waktu
5.      Membantu orang lain

Job seeker :
1.      Terikat waktu dan tugas
2.      Tidak bersifat independen
3.      Terkekang
4.      Menjadi karyawan dari pimpinan

Terkadang menjadi karyawan , kita suka merasa tertindas atau tidak diperlakukan adil dan kita tidak dapat bertindak apa-apa karena kita hanyalah karyawan dan tidak dapat melawa pimpinan kita.
            Tapi menjadi pencipta lapangan pekerjaan juga kita harus memikirkan beberapa hal, yaitu berbagai resiko yang akan kita hadapi. Karena tidak semua pencipta lapangan pekerjaan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Menjadi pencipta lapangan pekerjaan, kita harus memperhitungkan dengan matang modal, jenis usaha, pangsa pasar, dan perkiraan kelangsungan usaha dengan melihat trend dan kebutuhan masyarakat sekarang.

Ringkasan Jurnal Fraud



TUGAS 3

RINGKASAN JURNAL
Judul            : GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN FRAUD DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI (STUDI KUALITATIF )
Penulis             :  Rozmita Dewi YR dan R. Nelly Nur Apandi
Universitas      : Universitas Pendidikan Indonesia

Abstract
 The purpose of this study is to analyze the symptom of fraud and the role of internal auditor to detect fraud. Informan are auditors internal and faculty members. The sampling technique that is used in this paper is purposive sampling. The primary data is used in this research.Qualitative method is used by the researchers. The results showed that potential symptom occurs in university are due to lack of internal control and accounting anomaly. The weakness of internal control occurs because of inadequate accounting system and lack of internal control from management while the accounting anomaly occurs because worse of budgeting and delay of funding. On the other hand, review from top management is more important than role of internal auditor. Eventhough auditors internal have done their assignment to ensure the system run well, they can not do anything without support from the top management. Auditor internal must asses the risk of fraud regulary and Rector must build culture of anticorruption in university environment to prevent fraud.
Keywords : Fraud, Symptom and Detection Fraud

 Latar Belakang
Perguruan Tinggi merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari perorangan, masyarakat dan atau pemerintah oleh karenanya Perguruan Tinggi memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber dana tersebut kepada para stakeholder. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan berkualitas yang terbebas dari unsur fraud. Semakin tingginya biaya pendidikan di tingkat Perguruan tinggi menyebabkan biaya yang dikelola Perguruan Tinggi menjadi tidak sedikit. Pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya perilaku penyimpangan melalui peningkatan sistem pengendalian intern (internal control system). Peraturan Pemerintah (PP ) No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), dalam pasal 4 peraturan tersebut dijelaskan bahwa SNP bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Keberadaan lembaga penjamin mutu tersebut adalah suatu keharusan sebagai upaya setiap perguruan tinggi memberikan jaminan mutu proses dan hasil pendidikan kepada stakeholders baik internal maupun eksternal perguruan tinggi. Beberapa Perguruan Tinggi selain memiliki bagian Satuan Penjamin Mutu, Perguruan Tinggi juga memiliki bagian Satuan Pengendalian Internal atau Auditor Internal yang memiliki tugas untuk melakukan audit dalam bidang manajemen keuangan, akademik, dan sumber daya.Profesionalisme auditor internal dilingkungan Perguruan Tinggi belum mencapai tingkat yang memadai, hal ini disebabkan karena tumpang tindihnya jabatan fungsional dan struktural. Rendahnya pengendalian internal juga terjadi di Perusahan-Perusahaan publik di Indonesia,berdasarkan hasil studi Bapepam tahun 2006, fungsi audit internal di Indonesia masih tergolong dalam kategori yang belum memadai, hasil studi ini masih relevan dan sejalan dengan pernyataan Anwar Nasution dalam sambutannya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun anggaran 2009 kepada DPR, Selasa 15 September 2009 menyatakan bahwa fungsi audit internal di Indonesia masih belum efektif.
Belum efektifnya pengendalian internal di Indonesia, terutama di lingkungan Perguruan tinggi terbukti dengan munculnya dugaan–dugaan kasus korupsi. Selama tahun 2012 setidaknya telah ada 5(Lima) Perguruan Tinggi yang diduga terlibat tindakan fraud. Walaupun demikian, hal tersebut masih berupa dugaan sehingga prinsip asas praduga tak bersalah harus tetap ditegakkan. Tindakan fraud yang terjadi di lingkungan Perguruan tinggi dapat diantisipasi lebih dini oleh pimpinan Perguruan Tinggi dengan cara mengidentifikasi jenis fraud yang dilakukan sehingga dapat diketahui gejala yang mungkin terjadi atas tindakan tersebut.
Association of Certified Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang memfokuskan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan penyimpangan. Bentuk penyimpangan dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) yaitu: penyimpangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting), asset misappropriation (penyalahgunaan aset) dan corruption (Singelton, 2010: 73). Pimpinan Perguruan Tinggi melalui Internal Audit atau Satuan Pengendalian Internal harus mampu untuk menangkap redflag dari ketiga bentuk kecurangan tersebut oleh karenanya diperlukan suatu upaya untuk dapat mendeteksi, mencegah maupun menginvestigasi terjadinya fraud.
Penelitian yang dilakukan Lisa et al (1997) menyebutkan bahwa Internal Audit berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi. Albergh (2010: 86) menyatakan bahwa “Not Everyone Is Honest”, seandainya semua orang jujur maka Perusahaan tidak perlu waspada dengan tindakan fraud. Akan tetapi banyak orang mengaku telah melakukan tindakan fraud ketika lingkungan tempat mereka bekerja memiliki integritas yang rendah, kontrol yang rendah dan tekanan yang tinggi. Ketiga hal ini akan memicu orang berprilaku tidak jujur. Tindakan fraud dapat dicegah dengan cara menciptakan budaya kejujuran, sikap keterbukaan dan meminimalisasi kesempatan untuk melakukan tindakan fraud. Oleh karena itu dalam lingkungan Perguruan Tinggi hendaknya perlu diidentifikasi symptom dari tindakan fraud, penilaian secara berkala atas symptom tersebut serta upaya untuk mengeliminasi tindakan fraud. Penelitian terkait dengan auditor internal telah banyak dilakukan pada Perusahaan Publik atau Sektor Pemerintahan akan tetapi penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi masih relatif jarang, dimana karakter yang berbeda dari organisasi tersebut memungkinkan adanya symptom yang khas yang harus dikenali oleh auditor. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan symptom fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi serta peran auditor internal dalam mendeteksi terjadinya fraud.

Hasil Penelitian
Lack of Internal Control
Gejala fraud yang paling sering terjadi di lingkungan perguruan tinggi adalah lemahnya pengendalian internal seperti yang diungkapkan oleh Informan 3 :
“Kewajiban melakukan pengendalian intern yang dilakukan oleh pihak manajemen, melalui dekan fakultas atau ketua program studi masih belum dapat dilakukan secara penuh terkait dengan tumpang tindihnya jabatan struktural dan fungsional serta beban kerja yang cukup banyak. Disamping itu hasil rekomendasi yang diberikan audit internal atas pengendalian internal yang belum memadai tersebut belum sepenuhnya dapat dilakukan”.
Informan 5 mengungkapkan bahwa pemisahan fungsi di level program studi belum dilaksanakan sepenuhnya. Seperti yang diungkapkan berikut ini :
“Pemisahan fungsi belum dilakukan secara memadai di level program studi yang memiliki tanggung jawab sebagai pelaksana anggaran. Ketua program memiliki beban kerja yang cukup banyak, sebagai pengguna anggaran dia juga yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan”.
Pengendalian intern selain dilakukan oleh pihak manajemen melalui dekan fakultas atau ketua program, seharusnya pula dilakukan pengendalian intern oleh pihak yang independen dengan membentuk Satuan Pengendalian Internal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan (Rozmita & Nelly, 2012) menunjukan 21% Perguruan tinggi dari sampel yang ada belum memiliki bagian yang khusus melakukan pengendalian internal dalam keuangan padahal jumlah dana yang dikelola Perguruan Tinggi tidaklah sedikit. Penelitian tersebut juga menunjukan masih rendahnya upaya perwujudan transparansi dan akuntabilitas perguruan tinggi terbukti 42,1% dari sampel yang ada, laporan keuangan yang dimiliki oleh perguruan tinggi yang dijadikan sampel tidak diaudit oleh Auditor Eksternal (Kantor Akuntan Publik).
Accounting Anomaly
Selain dari lemahnya pengendalian internal, gejala lainnya yang terjadi adalah ketidaknormalan data akuntansi. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Informan 5 :
“Dana yang dikelola pada unit entitas terkecil pada umumnya dilakukan di level program studi/fakultas, dimana dibeberapa Perguruan Tinggi tugas pengelolaan kas dibebankan kepada dosen sehingga terjadinya penambahan beban kerja secara struktural. Oleh karenanya keterlambatan dalam penyampaian laporan pertanggungjawaban penggunaan kas sering terjadi. Sehingga gejala yang ada selain lemahnya pengendalian internal adalah Accounting Anomaly yang ditandai dengan adanya penundaan pencatatan.Hal ini menurut saya dapat disebabkan karena pengelola kas yang tidak memiliki latar belakang dalam bidang keuangan serta beban pekerjaan yang cukup tinggi.Sedangkan gejala lainnya yaitu perencanaan anggaran yang belum matang dapat memicu terjadinya transaksi fiktif karena adanya kegiatan yang penting untuk dilakukan akan tetapi tidak tercantum pada anggaran tahun berjalan. Meskipun mekanisme perubahan anggaran telah ada namun hal tersebut tidak dapat mengatasi secara keseluruhan atas perencanaan anggaran yang tidak matang. Perencanaan anggaran yang belum matang selain disebabkan oleh penyusun anggaran itu sendiri dapat pula disebabkan oleh belum adanya standar harga barang dan jasa, kalaupun sudah ada tetapi standar tersebut belum sepenuhnya dapat mengakomodir kegiatan yang akan dilakukan”
Gejala fraud lainnya juga dapat terjadi akibat keterlambatan pencairan dana. Seperti yang dikutip dari hasil wawancara dengan Informan 4 :
“Persoalan keterlambatan pencairan dana pun masih menjadi hambatan dalam penyerapan anggaran. Jika dana yang disampaikan tidak tepat waktu terutama apabila penyerahan dana yang dilakukan untuk kegiatan akhir tahun dalam jumlah yang banyak, hal ini dapat memicu terjadinya transaksi fiktif”.
Hal yang dinyatakan Informan 4 senada dengan yang dinyatakan Informan 5, yang menyebutkan bahwa keterlambatan pencairan dana juga merupakan permasalahan yang sering dihadapi. Seperti yang dikutip dalam wawancara berikut ini :
“Keterlambatan pencairan dana pada awal tahun menyebabkan terjadinya kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan. Transaksi fiktif dapat muncul akibat hal tersebut. Masalah lain juga yang dihadapi adalah pada saat pelaporan dana tersebut, jika komitmen pengguna dana dalam melaksanakan anggaran tidak tepat waktupun dapat memicu terjadinya transaksi fiktif”.
Walaupun anggaran masih menjadi permasalahan dalam pengelolaan keuangan, akan tetapi beberapa Perguruan tinggi yang kami jadikan sampel penelitian menunjukan fenomena positif yaitu peningkatan komitmen Perguruan Tinggi dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas sektor publik. Sistem penyusunan anggaran yang sudah memadai pun banyak dimiliki oleh berbagai perguruan tinggi diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Informan 4 :
“Penyusunan anggaran pada perguruan tinggi kami sudah dilaksanakan dengan system online mulai dari perencanaan, pengajuan dana sampai dengan pelaporan penggunaan dana, hal ini sudah dilaksanakan sebelum tahun 2008. Pada tahun tahun kedepan upaya peningkatan akurasi pencatatan dapat terus ditingkatkan dengan system yang ada”
Hal senada diungkapkan oleh Informan 3 mengungkapkan bahwa :
“Sistem akuntansi keuangan yang terintegrasi pada web universitas sudah dimiliki pada perguruan tinggi kami sejak tahun 2010, dimana semua Program Studi wajib untuk mengisi anggaran secara online serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban dana secara online. Hal ini meningkatkan proses verifikasi bagian anggaran atas pagu yang telah ditetapkan”
Hal yang diungkapkan dalam wawancara diatas mengenai system penganggaran yang berkuaitas dapat memacu dalam proses transparansi dan akuntabilitas sejalan dengan yang diungkapkan (Prof.Dr.Azhar Susanto, 1998) bahwa sistem akuntansi yang memadai akan mampu menghasilkan informasi yang berkualitas yaitu informasi yang memenuhi unsur relevan, tepat waktu, akurat dan reliable. Sehingga hal tersebut dapat mencegah terjadinya accounting anomaly.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
1.      Gejala fraud yang berpotensi timbul di lingkungan perguruan tinggi adalah lack of internal control yang disebabkan oleh belum adanya pemisahan fungsi pada level terkecil pengguna anggaran, kurangnya pengendalian internal yang dilakukan oleh pimpinan unit terkecil dekan terhadap pelaporan pertanggungjawaban dana. Keterlibatan dosen sebagai auditor internal dapat berpotensi menurunkan independensi.Gejala lainnya adalah accounting anomaly yang ditandai dengan perencanaan anggaran yang tidak matang, pencairan dana yang terlambat dapat berpotensi terjadinya transaksi fiktif. Dosen yang dijadikan pemegang kas menghadapi konflik peran serta pemegang kas yang tidak memiliki latarbelakang keuangan menyebabkan keterlambatan dalam pencatatan pelaporan keuangan.
2.      Auditor internal berperan dalam mendeteksi tindakan fraud akan tetapi peran manajemen puncak dalam melakukan review atas pengendalian internal memberikan peran yang lebih penting dalam upaya pendeteksian tindakan fraud sesuai dengan konsep ―tone at the top‖. Tugas Auditor internal untuk melakukan penilaian resiko tindakan fraud belum sepenuhnya dilakukan oleh auditor dilingkungan Perguruan Tinggi.

Sabtu, 13 Desember 2014

Analisis SWOT



TUGAS 2

Nama saya adalah Desiana Eka Nanda. Teman teman saya biasa memanggil saya Nanda, tapi untuk dosen atau guru guru saya selalu memanggil saya Desiana (kecuali untuk guru yang benar-benar dekat maka mereka memanggil saya Nanda). Saya lahir di Jakarta, pada 18 Desember 1993. Saya merupakan anak pertama adari 2 bersaudara. Keluarga saya adalah keluarga kecil yang menurut saya sangat bahagia. Saya memiliki seorang adik yang bernama Sagita.

            Saya lahir ditengah keluarga kecil yang sederhana. Ibu saya adalah seorang karyawati sebelum saya lahir, namun setelah ada saya beliau memutuskan untuk berhenti bekerja. Sedangkan ayah saya dulu adalah seorang karyawan di salah satu perusahaan asing. Saya memiliki seorang nenek. Beliau yang selalu menjaga saya saat ini. Saat ini keadaan di rumah saya tidak seperti dulu lagi, semua berubah saat ayah saya terserang penyakit Hepatitis B. sejak saat itu, ibu saya mulai bekerja lagi dan membantu mencari nafkah. Ayah saya berhenti bekerja sejak 2002 dan memulai usaha di rumah sendiri. Beliau berkata “kalo kerja sama orang, jam kerja dan waktu pulang itu di tentuin. Tapi kalo punya usaha sendiri beda, lebih enak. Kalo badan udh mulai kecapean, tinggal pulang dan istirahat.” Keluarga mendukung keputusan ayah saya tersebut.

            Pendidikan pertama saya dapat bukan dari TK, melainkan di TPA Salman. Sebuah pengajian untuk anak-anak yang berada tidak jauh dari rumah saya. Selain dari situ saya juga mendapatkan pendidikan nonformal dari kedua orang tua saya. Saya tidak pernah TK, itulah yang menyebabkan saya pernah di ragukan saat akan masuk SD dulu. Saya SD di SDN 14 Pagi yang berada di kompek MPR cilandak. Awalnya saya sempat ditolak saat akan masuk SD, alasannya karena saat itu usia saya baru mencapai 5,5 tahun dan saya tidak TK. Akhirnya pihak sekolah mencoba nelakukan test pada saya dengan test baca, tulis, dan warna. Setelah lolos test itu, ibu saya berkata pada pihak sekolah bahwa beliau hanya menitipkan saya, jika saya tidak dapat mengikuti pelajaran maka beliau akan menyekolahkan saya tahun berikutnya. Alhamdulillah saya tidak membuat ibu saya malu dan dapat mengikuti pelajaran serta mendapat peringkat 2 di kelas. Saya lulus SD dengan nilai General Test 73,40 yang merupakan peringkat terbaik di sekolah, bahkan tertinggi di 7 SD di Cilandak.

            Saya melanjutkan pendidikan saya di SMPN 68 Jakarta. Guru SD saya begitu menyayangkan keputusan saya dan orang tua saya itu. Jika di liat dari nilai General Test saya, sebenarnya saya bias masuk di SMPN 85, namun orang tua saya mengatakan bahwa lebih baik di sekolah yang lumayan tapi saya dapat mengikuti pelajaran dengan baik serta mendapat peringkat yang bagus, dari pada saya di sekolah yang bagus tapi saya ridak dapat mengikuti pelajaran serta menjadi siswi yang biasa saja.

Selanjutnya saya SMA di SMKN 6 Jakarta. Awalnya saya memilih SMK karena saya menghindari pelajaran IPA dan IPS. Karena di kedua mata pelajaran tersebut saya kurang begitu menyukainya. Sejak SD memang pelajaran yang paling saya senangi adalah berhitung, oleh karena itu saya memilih jurusan Akuntansi saat SMK. Saat melaksanakan sesuatu yang sesuai dengan apa yang kita sukai dan senangi maka tidak akan merasa kesulitan. Selama SMK saya selalu mendapatkan peringkat 5 besar di kelas. Selama SMK begitu banyak kegiatan yang saya ambil, dengan maksud agar saya dapat merasakan semuanya dan saat kuliah saya tidak penasaran lagi. Saya mengikuti OSIS dan menjadi bendaharanya, saya mengikuti beberapa ekstrakulikuler sekaligus, seperti Teater, Rohis, Padus, dan Futsal. Saya memang agak tomboy, saya begitu menyukai hal hal yang seharusnya disukai oleh laki-laki. Saat kecil saya menyukai mobil-mobilan, bermain laying-layang, gundu, memanjat pohon, balapan sepeda, dan banyak lagi.

Jenjang pendidikan yang sedang saya jalani saat ini adalah S1. Saya memilih Universitas Gunadarma karena saya mendapatkan beasiswa di sana. Saya masuk melalui jalur undagan, dengan grade 1. Saya memilih jurusan akuntansi di Universitas Gunadarma karena telah mendapatkan grade A. Saya melanjutkan pilihan saya, yaitu akuntansi, dan Alhamdulillah saya mendapatkan IP diatas 3,5 untuk semester pertama. Dengan modal IP tersebut, saya mencari beasiswa di luar kampus, dan Alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa di sebuah yayasan budha, yaitu yayasan budha tzu chi. Saya tidak mempermasalahkan yayasan itu berbeda keyakinan dengan saya, karena pada prinsipnya semua agama sama, dan tetap harus saling menghargai. Di yayasan itu untuk mahasiswa yang mendapatkan beasiswa diwajibkan mengikuti kegiatan di sana. Kegiatan kemanusiaan, seperti ke panti jompo, panti asuhan, menolong korban bencana dan lain-lain. Sejak semester 2, kedua orang tua saya tidak perlu lagi pusing memikirkan biaya kuliah saya, karena sepenuhnya telah di tanggung oleh yayasan tersebut. Saya merasa senang karena dapat membantu meringankan beban mereka. Sejak saat itu selain di pantau oleh orang tua, nilai saya juga di pantau oleh yayasan tersebut, dan sampai saat ini saya merasa tidak mengecewakan mereka, karena IP terakhir saya di semester 6 masih di atas 3,5 walaupun ada masanya kenaikan dan penurunan. Sekarang saya adalah mahasiswi tingkat akhir (semester 7). Saya berharap dapat secepatnya lulus kuliah dan mulai bekerja. Saya tidak diperbolehkan bekerja parttime oleh orang tua saya karena menurut mereka saat saya sudah dapat menghasilkan uang sendiri saya akan lupa  belajar dan malas menyelesaikan kuliah saya. Lagi pula ada yayasan yang menanggung uang kuliah saya, jadi tidak perlu memikirkan biaya lagi, begitu kata orang tua saya.
Kelebihan saya adalah saya orang yang penuh dengan perhitungan. Semua yang saya lakukan apalagi jika berhubungan dengan uang maka akan saya perhitungkan dengan matang. Setiap sampai rumah, saya terbiasa memngingat kembali apa saja yang telah saya lakukan, dan telah kemana saja uang jajan saya seharian itu. Saya juga orang yang mudah bergaul dan memiliki banyak teman, tapi tidak mudah akrab. Saya juga adalah orang yang teliti. Saya orang yang sabar dalam menghadapi orang lain  namun tidak sabar jika dalam hal mengajari orang lain sebuah materi. Saya juga cepat menghafal teori ataupun rumus. Saya juga merupakan orang yang bertanggung jawab, dan sangat peduli tentang nilai. Begitu pedulinya sampai terkadang saya tidak percaya pada orang lain jika berhubungan dengan nilai saya. Jika ada tugas kelompok, maka saya selalu meminta hasil akhir di berikan ke saya dan saya akan periksa kembali.

Kekurangan saya adalah saya kurang percaya diri. Sejak kecil saya selalu menunggu orang lain, dan tidak pernah berani untuk menjadi yang pertama. Namun hal itu sudah mulai berkurang sejak saya mengikuti Teater, yang melatih kepercayaan diri dan daya hafal saya dalam menghafal naskah. Saya juga memiliki kelemahan dalam menghafal nama orang, untuk satu kelas saja bisa lebih dari 4 bulan saya menghafal nama-namanya. Saya juga mudah sekali lupa akan pelajaran yang baru saja saya pelajari. Saya mudah menghafal tapi juga mudah melupakannya. Saya juga merupakan orang yang sering sekali terlambat datang, dan suka sekali memepetkan waktu dengan segala hal.

Ancaman saya adalah diri saya sendiri. Yaitu sifat yang merasa bahwa diri saya mampu melakukan lebih baik dari pada orang lain, sehingga saya tidak percaya pada pekerjaan orang lain. Hal itu sebenarnya merugikan diri saya sendiri. Karena misalnya ada tugas kelompok dan telah ada pembagian tugas masing masing anggota, maka saya akan memberikan diri saya sendiri porsi tugas yang lebih besar atau lebih sulit karena saya tidak percaya jika tugas itu diberikan oleh orang lain maka akan selesai dengan tepat waktu dan baik. Hal ini menjadi ancaman saya saat kerja nanti, Karena tidak mungkin saya terus menerus menghendel semua pekerjaan orang lain, dan sejauh ini saya mulai mengurangi dan menjaga sifat saya ini.

Peluang bagi saya adalah dapat menjadi orang yang dipercaya, karena memiliki sifat yang bertanggung jawab, tidak mau mengecewakan orang lain, dan peduli terhadap penilaian kinerja saya sendiri.