Pages

Rabu, 01 Juli 2015

Tahapan pengadopsian IFRS di Indonesia



IFRS ( International Financial Reporting standard ) adalah pedoman penyususnan laporan keuangan yang dapat diterima secara global. IFRS yang ada saat ini mengalami sejarah yang cukup panjang dalam proses terbentuknya. Mulai dari terbentuknya IASC / IAFB, IASB, hingga menjadi IFRS seperti yang ada saat ini. Jika IFRS telah digunakan oleh suatu Negara, berarti Negara tersebut telah mengadopsi system pelaporan keuangan yang dapat diterima dan diakui secara global di seluruh dunia sehingga memungkinkan pasar dunia mengerti tentang laporan keuangan perusahaan dimana Negara tersebut berasal.
Di Indonesia, standar akuntansi yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan yang memiliki akuntabilitas publik signifikan adalah PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan). Standar ini merupakan kumpulan dari berbagai standar Akuntansi di dunia dan telah disesuaikan untuk digunakan di Indonesia. Praktik akuntansi di setiap negara berbeda-beda, ini dikarenakan adanya pengaruh lingkungan, ekonomi, sosial dan politis di masing-masing negara tersebut. Adanya tuntutan globalisasi atau tuntutan untuk menyamakan persepsi akuntansi di setiap negara mengakibatkan munculnya Standar Akuntansi Internasional yang lebih dikenal dengan IFRS (International Financial Reporting Standards).
Ini bertujuan untuk memudahkan proses rekonsiliasi bisnis dalam bisnis lintas Negara. Konvergensi dapat berarti harmonisasi atau standardisasi, namun harmonisasi dalam konteks akuntansi dipandang sebagai suatu proses meningkatkan kesesuaian  praktik akuntansi dengan menetapkan batas tingkat keberagaman. Jika dikaitkan dengan IFRS maka konvergensi dapat diartikan sebagai proses menyesuaikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terhadap IFRS.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi yang berwenang dalam membuat standar akuntansi di indonesia telah melakukan langkah-langkah penyeragaman standar akuntansi keuangan. Sejak tahun 1994 IAI telah melaksanakan program harmonisasi dan adaptasi standar akuntansi internasional dalam rangka pengembangan standard akuntansinya (SAK [2009]). Berdasarkan data perbandingan yang dilakukan oleh Osman Ramli Satrio dan Rekan terhadap PSAK per 1 Januari 2007 dan standar akuntansi internasional (IFRS dan US GAAP) diperoleh data bahwa dari 57 PSAK yang ada sebanyak 28 PSAK dikembangkan dari IFRS dan 20 PSAK dikembangkan dari US. GAAP sementara 8 PSAK dikembangkan sendiri oleh IAI. Lebih lanjut 1 PSAK mengenai syariah dikembangkan dari standard akuntansi yang dibuat oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan regulasi lokal yang relevan (Deloitte, 2007).

IAI pada Desember 2008 telah mengumumkan rencana konvergensi standar akuntansi lokalnya yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dengan International Financial Reporting Standards (IFRSs) yang merupakan produk dari IASB. Rencana pengkonvergensian ini direncanakan akan terealisasi pada tahun 2012.
Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi).
Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:
1.      Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku.
2.      Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan  penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3.      Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.
Saat ini standar akuntansi keuangan nasional sedang dalam proses konvergensi secara penuh dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh IASB (International Accounting Standards Board. Oleh karena itu, arah penyusunan dan pengembangan standar akuntansi keuangan ke depan akan selalu mengacu pada standar akuntansi internasional (IFRS) tersebut.
Ketua Tim Implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Dudi M Kurniawan mengatakan, dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus.
·         Meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK).
·         Mengurangi biaya SAK.
·         Meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan.
·         Meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan.
·         Meningkatkan transparansi keuangan.
·         Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal.
·         Meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
·         Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan standar akuntansi keuangan yang dikenal secara internasional (enhance comparability).
·         Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi.
·         Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global.
·         Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
·         Meningkatkan kualitas laporan keuangan dengan cara mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management.

Manfaat dari penerapan IFRS dalam bisnis di Indonesia, yaitu:
·         Akses ke pendanaan internasional akan lebih terbuka karena laporan keuangan akan lebih mudah dikomunikasikan ke investor global.
·         Relevansi laporan keuangan akan meningkat karena lebih banyak menggunakan nilai wajar
·         Kinerja keuangan (Lap.labarugi) akan lebih fluktuatif apabila harga-harga fluktuatif.
·         Smoothing income menjadi semakin sulit dengan penggunaan balance sheet approach dan fair value.

Ada 3 kendala dalam mengadopsi penuh IFRS :
1.       Kurang siapnya infrastuktur seperti DSAK sebagai Financial Accounting Standart Setter.
DSAK adalah perumus SAK yang ada di Indonesia. Pada prakteknya DSAK mendapatkan berbagai macam kritik. Diantaranya adalah minimnya partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam setiap exposure draft hearing PSAK yang baru akan diberlakukan. Padahal untuk dapat di “cap” kualitas generally accepted accounting principle / GAAP adalah harus melewati tahapan-tahapan yang diantaranya melibatkan seluruh stakeholeder yang terlibat. Selain itu status ketua dan anggota DSAK yang tidak bekerja full time membuat DSAK dipandang kurang begitu loyal dan independen. Dan yang memprihatinkan adalah belum ada satu peraturan pun yang memberikan mandate bagi DSAK untuk mengeluarkan SAK.
2.       Kondisi perundangan - undangan yang belum tentu sinkron dengan IFRS.
Regulasi yang berkaitan dengan standar akuntansi dan pelaporan keuangan di Indonesia tidak begitu jelas. Terdapat banyak perundang-undangan yang kurang mendukung terhadap standar akuntansi dan pelaporan keuangan. Di dalam IAS 16, standar internasional memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai revaluation model (ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan revalution model (fair value accounting) dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and Equipment) mulai tahun 2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun 2008). Hal ini adalah perubahan yang cukup besar karena selama ini revalution model belum dapat diterapkan di Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah mengijinkan.
Revaluation model memperbolehkan PPE dicatat berdasarkan nilai wajarnya. Permasalahannya di Indonesia adalah sistem perpajakan yang tidak mendukung standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset ke atas dikenai pajak final sebesar 10% dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan yang bisa dibalik di tahun berikutnya bila nilai aktiva turun. Bayangkan apabila perusahaan memutuskan memakai revalution model dan setiap tahun harga asetnya meningkat, maka setiap tahun harus membayar pajak final. Padahal kenaikan harga aset tersebut tidaklah membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan. Bila aturan perpajakan tidak mendukung, maka dapat dipastikan perusahaan akan enggan menerapkan revaluation model. Bukan hanya sistem pajaknya saja yang memberatkan, bila perusahaan memakairevaluation model, maka siap-siap untuk keluar uang lebih banyak untuk menyewa jasa penilai. Hal ini dikarenakan banyaknya aset tetap yang btidak memiliki nilai pasar sehingga ketergantungan kepada jasa penilai (assessor) akan besar untuk menilai aset-aset ini
3.       Kurang siapnya SDM dan dunia pendidikan di Indonesia
IFRS hanyalah alat untuk mencapai kemudahan dalam berinvestasi. Yang akan menggunakan dan mengoptimalkan alat tersebut tidak lain tidak bukan hanyalah manusia itu sendiri meskipun akan sedikit di bantu dengan teknologi informasi. SDM di Indonesia haruslah dapat memahami dengan baik apa itu IFRS. Tentunya SDM-SDM yang berhubungan langsung dengan laporan keuangan baik praktisi, pemerintah, hingga akademisi.
Salah satu kelemahan SDM Indonesia adalah kesulitan dalam menerjemahkan IFRS. Jadi dalam menerjemahkan dan memahami IFRS membutuhkan waktu yang tidak singkat. Padahal perubahan-perubahan di IFRS adalah sangat cepat, sehingga saat IFRS yang sudah selesai diterjemahkan terkadang IFRS yang tidak lagi berlaku. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Negara lain yang langsung mengambil teks asli IFRS tanpa menerjemahkannya terlebih dahulu.


Sumber :