IFRS ( International Financial Reporting standard ) adalah pedoman penyususnan laporan
keuangan yang dapat diterima secara global. IFRS yang ada saat ini mengalami
sejarah yang cukup panjang dalam proses terbentuknya. Mulai dari terbentuknya
IASC / IAFB, IASB, hingga menjadi IFRS seperti yang ada saat ini. Jika IFRS
telah digunakan oleh suatu Negara, berarti Negara tersebut telah mengadopsi
system pelaporan keuangan yang dapat diterima dan diakui secara global di
seluruh dunia sehingga memungkinkan pasar dunia mengerti tentang laporan
keuangan perusahaan dimana Negara tersebut berasal.
Di Indonesia, standar akuntansi yang digunakan untuk
menyusun laporan keuangan yang memiliki akuntabilitas publik signifikan adalah
PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan). Standar ini merupakan kumpulan
dari berbagai standar Akuntansi di dunia dan telah disesuaikan untuk digunakan
di Indonesia. Praktik akuntansi di setiap negara berbeda-beda, ini dikarenakan
adanya pengaruh lingkungan, ekonomi, sosial dan politis di masing-masing negara
tersebut. Adanya tuntutan globalisasi atau tuntutan untuk menyamakan persepsi
akuntansi di setiap negara mengakibatkan munculnya Standar Akuntansi
Internasional yang lebih dikenal dengan IFRS (International Financial Reporting
Standards).
Ini bertujuan untuk memudahkan proses rekonsiliasi bisnis
dalam bisnis lintas Negara. Konvergensi dapat
berarti harmonisasi atau standardisasi, namun harmonisasi dalam konteks akuntansi dipandang sebagai suatu proses
meningkatkan kesesuaian praktik akuntansi dengan menetapkan batas
tingkat keberagaman. Jika dikaitkan dengan IFRS
maka konvergensi dapat diartikan sebagai proses menyesuaikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terhadap IFRS.
Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) sebagai organisasi yang berwenang dalam membuat standar
akuntansi di indonesia telah melakukan langkah-langkah penyeragaman standar
akuntansi keuangan. Sejak tahun 1994 IAI telah melaksanakan program harmonisasi
dan adaptasi standar akuntansi internasional dalam rangka pengembangan standard
akuntansinya (SAK [2009]). Berdasarkan data perbandingan yang dilakukan oleh
Osman Ramli Satrio dan Rekan terhadap PSAK per 1 Januari 2007 dan standar
akuntansi internasional (IFRS dan US GAAP) diperoleh data bahwa dari 57 PSAK
yang ada sebanyak 28 PSAK dikembangkan dari IFRS dan 20 PSAK dikembangkan dari
US. GAAP sementara 8 PSAK dikembangkan sendiri oleh IAI. Lebih lanjut 1 PSAK mengenai
syariah dikembangkan dari standard akuntansi yang dibuat oleh Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan regulasi
lokal yang relevan (Deloitte, 2007).
IAI
pada Desember 2008 telah mengumumkan rencana konvergensi standar akuntansi
lokalnya yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dengan
International Financial Reporting Standards (IFRSs) yang merupakan produk dari
IASB. Rencana pengkonvergensian ini direncanakan akan terealisasi pada tahun
2012.
Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi).
Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi).
Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di
Indonesia, yaitu:
1. Tahap
Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK,
persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang
berlaku.
2. Tahap
Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap
persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan
secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3. Tahap
Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara
bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara
komprehensif.
Saat ini standar
akuntansi keuangan nasional sedang dalam proses konvergensi secara penuh dengan
International Financial Reporting Standards (IFRS) yang dikeluarkan oleh IASB
(International Accounting Standards Board. Oleh karena itu, arah penyusunan dan
pengembangan standar akuntansi keuangan ke depan akan selalu mengacu pada
standar akuntansi internasional (IFRS) tersebut.
Ketua Tim Implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
Dudi M Kurniawan mengatakan, dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan
tujuh manfaat sekaligus.
·
Meningkatkan
kualitas standar akuntansi keuangan (SAK).
·
Mengurangi
biaya SAK.
·
Meningkatkan
kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan.
·
Meningkatkan
komparabilitas pelaporan keuangan.
·
Meningkatkan
transparansi keuangan.
·
Menurunkan
biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal.
·
Meningkatkan
efisiensi penyusunan laporan keuangan.
·
Memudahkan
pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan standar akuntansi keuangan
yang dikenal secara internasional (enhance comparability).
·
Meningkatkan
arus investasi global melalui transparansi.
·
Menurunkan
biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal
secara global.
·
Menciptakan
efisiensi penyusunan laporan keuangan.
·
Meningkatkan
kualitas laporan keuangan dengan cara mengurangi kesempatan untuk melakukan earning
management.
Manfaat
dari penerapan IFRS dalam bisnis di Indonesia, yaitu:
·
Akses
ke pendanaan internasional akan lebih terbuka karena laporan keuangan akan
lebih mudah dikomunikasikan ke investor global.
·
Relevansi
laporan keuangan akan meningkat karena lebih banyak menggunakan nilai wajar
·
Kinerja
keuangan (Lap.labarugi) akan lebih fluktuatif apabila harga-harga fluktuatif.
·
Smoothing
income menjadi
semakin sulit dengan penggunaan balance sheet approach dan fair
value.
Ada 3 kendala dalam mengadopsi penuh IFRS :
1.
Kurang
siapnya infrastuktur seperti DSAK sebagai Financial Accounting Standart Setter.
DSAK adalah perumus SAK yang ada di
Indonesia. Pada prakteknya DSAK mendapatkan berbagai macam kritik. Diantaranya
adalah minimnya partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam setiap exposure
draft hearing PSAK yang baru akan diberlakukan. Padahal untuk dapat di “cap”
kualitas generally accepted accounting principle / GAAP adalah harus
melewati tahapan-tahapan yang diantaranya melibatkan seluruh stakeholeder yang
terlibat. Selain itu status ketua dan anggota DSAK yang tidak bekerja full
time membuat DSAK dipandang kurang begitu loyal dan independen. Dan yang
memprihatinkan adalah belum ada satu peraturan pun yang memberikan mandate bagi
DSAK untuk mengeluarkan SAK.
2.
Kondisi
perundangan - undangan yang belum tentu sinkron dengan IFRS.
Regulasi yang berkaitan dengan
standar akuntansi dan pelaporan keuangan di Indonesia tidak begitu jelas.
Terdapat banyak perundang-undangan yang kurang mendukung terhadap standar
akuntansi dan pelaporan keuangan. Di dalam IAS 16, standar internasional
memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai revaluation
model (ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai
perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan revalution model (fair
value accounting) dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and
Equipment) mulai tahun 2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun
2008). Hal ini adalah perubahan yang cukup besar karena selama ini revalution model belum dapat diterapkan di
Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah mengijinkan.
Revaluation model memperbolehkan PPE dicatat berdasarkan nilai wajarnya.
Permasalahannya di Indonesia adalah sistem perpajakan yang tidak mendukung
standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset ke atas dikenai
pajak final sebesar 10% dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh
dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan
yang bisa dibalik di tahun berikutnya bila nilai aktiva turun. Bayangkan
apabila perusahaan memutuskan memakai revalution
model dan setiap tahun harga asetnya meningkat, maka setiap tahun
harus membayar pajak final. Padahal kenaikan harga aset tersebut tidaklah
membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan. Bila aturan perpajakan tidak
mendukung, maka dapat dipastikan perusahaan akan enggan menerapkan revaluation model. Bukan hanya sistem pajaknya
saja yang memberatkan, bila perusahaan memakairevaluation
model, maka siap-siap untuk keluar uang lebih banyak untuk menyewa
jasa penilai. Hal ini dikarenakan banyaknya aset tetap yang btidak memiliki
nilai pasar sehingga ketergantungan kepada jasa penilai (assessor) akan besar untuk menilai aset-aset
ini
3.
Kurang
siapnya SDM dan dunia pendidikan di Indonesia
IFRS hanyalah alat untuk mencapai
kemudahan dalam berinvestasi. Yang akan menggunakan dan mengoptimalkan alat
tersebut tidak lain tidak bukan hanyalah manusia itu sendiri meskipun akan
sedikit di bantu dengan teknologi informasi. SDM di Indonesia haruslah dapat
memahami dengan baik apa itu IFRS. Tentunya SDM-SDM yang berhubungan langsung
dengan laporan keuangan baik praktisi, pemerintah, hingga akademisi.
Salah satu kelemahan SDM Indonesia adalah kesulitan dalam
menerjemahkan IFRS. Jadi dalam menerjemahkan dan memahami IFRS membutuhkan
waktu yang tidak singkat. Padahal perubahan-perubahan di IFRS adalah sangat
cepat, sehingga saat IFRS yang sudah selesai diterjemahkan terkadang IFRS yang
tidak lagi berlaku. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Negara lain yang
langsung mengambil teks asli IFRS tanpa menerjemahkannya terlebih dahulu.
Sumber
: