Pages

Selasa, 16 Desember 2014

Ringkasan Jurnal Fraud



TUGAS 3

RINGKASAN JURNAL
Judul            : GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN FRAUD DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI (STUDI KUALITATIF )
Penulis             :  Rozmita Dewi YR dan R. Nelly Nur Apandi
Universitas      : Universitas Pendidikan Indonesia

Abstract
 The purpose of this study is to analyze the symptom of fraud and the role of internal auditor to detect fraud. Informan are auditors internal and faculty members. The sampling technique that is used in this paper is purposive sampling. The primary data is used in this research.Qualitative method is used by the researchers. The results showed that potential symptom occurs in university are due to lack of internal control and accounting anomaly. The weakness of internal control occurs because of inadequate accounting system and lack of internal control from management while the accounting anomaly occurs because worse of budgeting and delay of funding. On the other hand, review from top management is more important than role of internal auditor. Eventhough auditors internal have done their assignment to ensure the system run well, they can not do anything without support from the top management. Auditor internal must asses the risk of fraud regulary and Rector must build culture of anticorruption in university environment to prevent fraud.
Keywords : Fraud, Symptom and Detection Fraud

 Latar Belakang
Perguruan Tinggi merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari perorangan, masyarakat dan atau pemerintah oleh karenanya Perguruan Tinggi memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber dana tersebut kepada para stakeholder. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan berkualitas yang terbebas dari unsur fraud. Semakin tingginya biaya pendidikan di tingkat Perguruan tinggi menyebabkan biaya yang dikelola Perguruan Tinggi menjadi tidak sedikit. Pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya perilaku penyimpangan melalui peningkatan sistem pengendalian intern (internal control system). Peraturan Pemerintah (PP ) No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), dalam pasal 4 peraturan tersebut dijelaskan bahwa SNP bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Keberadaan lembaga penjamin mutu tersebut adalah suatu keharusan sebagai upaya setiap perguruan tinggi memberikan jaminan mutu proses dan hasil pendidikan kepada stakeholders baik internal maupun eksternal perguruan tinggi. Beberapa Perguruan Tinggi selain memiliki bagian Satuan Penjamin Mutu, Perguruan Tinggi juga memiliki bagian Satuan Pengendalian Internal atau Auditor Internal yang memiliki tugas untuk melakukan audit dalam bidang manajemen keuangan, akademik, dan sumber daya.Profesionalisme auditor internal dilingkungan Perguruan Tinggi belum mencapai tingkat yang memadai, hal ini disebabkan karena tumpang tindihnya jabatan fungsional dan struktural. Rendahnya pengendalian internal juga terjadi di Perusahan-Perusahaan publik di Indonesia,berdasarkan hasil studi Bapepam tahun 2006, fungsi audit internal di Indonesia masih tergolong dalam kategori yang belum memadai, hasil studi ini masih relevan dan sejalan dengan pernyataan Anwar Nasution dalam sambutannya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun anggaran 2009 kepada DPR, Selasa 15 September 2009 menyatakan bahwa fungsi audit internal di Indonesia masih belum efektif.
Belum efektifnya pengendalian internal di Indonesia, terutama di lingkungan Perguruan tinggi terbukti dengan munculnya dugaan–dugaan kasus korupsi. Selama tahun 2012 setidaknya telah ada 5(Lima) Perguruan Tinggi yang diduga terlibat tindakan fraud. Walaupun demikian, hal tersebut masih berupa dugaan sehingga prinsip asas praduga tak bersalah harus tetap ditegakkan. Tindakan fraud yang terjadi di lingkungan Perguruan tinggi dapat diantisipasi lebih dini oleh pimpinan Perguruan Tinggi dengan cara mengidentifikasi jenis fraud yang dilakukan sehingga dapat diketahui gejala yang mungkin terjadi atas tindakan tersebut.
Association of Certified Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang memfokuskan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan penyimpangan. Bentuk penyimpangan dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) yaitu: penyimpangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting), asset misappropriation (penyalahgunaan aset) dan corruption (Singelton, 2010: 73). Pimpinan Perguruan Tinggi melalui Internal Audit atau Satuan Pengendalian Internal harus mampu untuk menangkap redflag dari ketiga bentuk kecurangan tersebut oleh karenanya diperlukan suatu upaya untuk dapat mendeteksi, mencegah maupun menginvestigasi terjadinya fraud.
Penelitian yang dilakukan Lisa et al (1997) menyebutkan bahwa Internal Audit berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi. Albergh (2010: 86) menyatakan bahwa “Not Everyone Is Honest”, seandainya semua orang jujur maka Perusahaan tidak perlu waspada dengan tindakan fraud. Akan tetapi banyak orang mengaku telah melakukan tindakan fraud ketika lingkungan tempat mereka bekerja memiliki integritas yang rendah, kontrol yang rendah dan tekanan yang tinggi. Ketiga hal ini akan memicu orang berprilaku tidak jujur. Tindakan fraud dapat dicegah dengan cara menciptakan budaya kejujuran, sikap keterbukaan dan meminimalisasi kesempatan untuk melakukan tindakan fraud. Oleh karena itu dalam lingkungan Perguruan Tinggi hendaknya perlu diidentifikasi symptom dari tindakan fraud, penilaian secara berkala atas symptom tersebut serta upaya untuk mengeliminasi tindakan fraud. Penelitian terkait dengan auditor internal telah banyak dilakukan pada Perusahaan Publik atau Sektor Pemerintahan akan tetapi penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi masih relatif jarang, dimana karakter yang berbeda dari organisasi tersebut memungkinkan adanya symptom yang khas yang harus dikenali oleh auditor. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan symptom fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi serta peran auditor internal dalam mendeteksi terjadinya fraud.

Hasil Penelitian
Lack of Internal Control
Gejala fraud yang paling sering terjadi di lingkungan perguruan tinggi adalah lemahnya pengendalian internal seperti yang diungkapkan oleh Informan 3 :
“Kewajiban melakukan pengendalian intern yang dilakukan oleh pihak manajemen, melalui dekan fakultas atau ketua program studi masih belum dapat dilakukan secara penuh terkait dengan tumpang tindihnya jabatan struktural dan fungsional serta beban kerja yang cukup banyak. Disamping itu hasil rekomendasi yang diberikan audit internal atas pengendalian internal yang belum memadai tersebut belum sepenuhnya dapat dilakukan”.
Informan 5 mengungkapkan bahwa pemisahan fungsi di level program studi belum dilaksanakan sepenuhnya. Seperti yang diungkapkan berikut ini :
“Pemisahan fungsi belum dilakukan secara memadai di level program studi yang memiliki tanggung jawab sebagai pelaksana anggaran. Ketua program memiliki beban kerja yang cukup banyak, sebagai pengguna anggaran dia juga yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan”.
Pengendalian intern selain dilakukan oleh pihak manajemen melalui dekan fakultas atau ketua program, seharusnya pula dilakukan pengendalian intern oleh pihak yang independen dengan membentuk Satuan Pengendalian Internal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan (Rozmita & Nelly, 2012) menunjukan 21% Perguruan tinggi dari sampel yang ada belum memiliki bagian yang khusus melakukan pengendalian internal dalam keuangan padahal jumlah dana yang dikelola Perguruan Tinggi tidaklah sedikit. Penelitian tersebut juga menunjukan masih rendahnya upaya perwujudan transparansi dan akuntabilitas perguruan tinggi terbukti 42,1% dari sampel yang ada, laporan keuangan yang dimiliki oleh perguruan tinggi yang dijadikan sampel tidak diaudit oleh Auditor Eksternal (Kantor Akuntan Publik).
Accounting Anomaly
Selain dari lemahnya pengendalian internal, gejala lainnya yang terjadi adalah ketidaknormalan data akuntansi. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Informan 5 :
“Dana yang dikelola pada unit entitas terkecil pada umumnya dilakukan di level program studi/fakultas, dimana dibeberapa Perguruan Tinggi tugas pengelolaan kas dibebankan kepada dosen sehingga terjadinya penambahan beban kerja secara struktural. Oleh karenanya keterlambatan dalam penyampaian laporan pertanggungjawaban penggunaan kas sering terjadi. Sehingga gejala yang ada selain lemahnya pengendalian internal adalah Accounting Anomaly yang ditandai dengan adanya penundaan pencatatan.Hal ini menurut saya dapat disebabkan karena pengelola kas yang tidak memiliki latar belakang dalam bidang keuangan serta beban pekerjaan yang cukup tinggi.Sedangkan gejala lainnya yaitu perencanaan anggaran yang belum matang dapat memicu terjadinya transaksi fiktif karena adanya kegiatan yang penting untuk dilakukan akan tetapi tidak tercantum pada anggaran tahun berjalan. Meskipun mekanisme perubahan anggaran telah ada namun hal tersebut tidak dapat mengatasi secara keseluruhan atas perencanaan anggaran yang tidak matang. Perencanaan anggaran yang belum matang selain disebabkan oleh penyusun anggaran itu sendiri dapat pula disebabkan oleh belum adanya standar harga barang dan jasa, kalaupun sudah ada tetapi standar tersebut belum sepenuhnya dapat mengakomodir kegiatan yang akan dilakukan”
Gejala fraud lainnya juga dapat terjadi akibat keterlambatan pencairan dana. Seperti yang dikutip dari hasil wawancara dengan Informan 4 :
“Persoalan keterlambatan pencairan dana pun masih menjadi hambatan dalam penyerapan anggaran. Jika dana yang disampaikan tidak tepat waktu terutama apabila penyerahan dana yang dilakukan untuk kegiatan akhir tahun dalam jumlah yang banyak, hal ini dapat memicu terjadinya transaksi fiktif”.
Hal yang dinyatakan Informan 4 senada dengan yang dinyatakan Informan 5, yang menyebutkan bahwa keterlambatan pencairan dana juga merupakan permasalahan yang sering dihadapi. Seperti yang dikutip dalam wawancara berikut ini :
“Keterlambatan pencairan dana pada awal tahun menyebabkan terjadinya kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan. Transaksi fiktif dapat muncul akibat hal tersebut. Masalah lain juga yang dihadapi adalah pada saat pelaporan dana tersebut, jika komitmen pengguna dana dalam melaksanakan anggaran tidak tepat waktupun dapat memicu terjadinya transaksi fiktif”.
Walaupun anggaran masih menjadi permasalahan dalam pengelolaan keuangan, akan tetapi beberapa Perguruan tinggi yang kami jadikan sampel penelitian menunjukan fenomena positif yaitu peningkatan komitmen Perguruan Tinggi dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas sektor publik. Sistem penyusunan anggaran yang sudah memadai pun banyak dimiliki oleh berbagai perguruan tinggi diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Informan 4 :
“Penyusunan anggaran pada perguruan tinggi kami sudah dilaksanakan dengan system online mulai dari perencanaan, pengajuan dana sampai dengan pelaporan penggunaan dana, hal ini sudah dilaksanakan sebelum tahun 2008. Pada tahun tahun kedepan upaya peningkatan akurasi pencatatan dapat terus ditingkatkan dengan system yang ada”
Hal senada diungkapkan oleh Informan 3 mengungkapkan bahwa :
“Sistem akuntansi keuangan yang terintegrasi pada web universitas sudah dimiliki pada perguruan tinggi kami sejak tahun 2010, dimana semua Program Studi wajib untuk mengisi anggaran secara online serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban dana secara online. Hal ini meningkatkan proses verifikasi bagian anggaran atas pagu yang telah ditetapkan”
Hal yang diungkapkan dalam wawancara diatas mengenai system penganggaran yang berkuaitas dapat memacu dalam proses transparansi dan akuntabilitas sejalan dengan yang diungkapkan (Prof.Dr.Azhar Susanto, 1998) bahwa sistem akuntansi yang memadai akan mampu menghasilkan informasi yang berkualitas yaitu informasi yang memenuhi unsur relevan, tepat waktu, akurat dan reliable. Sehingga hal tersebut dapat mencegah terjadinya accounting anomaly.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
1.      Gejala fraud yang berpotensi timbul di lingkungan perguruan tinggi adalah lack of internal control yang disebabkan oleh belum adanya pemisahan fungsi pada level terkecil pengguna anggaran, kurangnya pengendalian internal yang dilakukan oleh pimpinan unit terkecil dekan terhadap pelaporan pertanggungjawaban dana. Keterlibatan dosen sebagai auditor internal dapat berpotensi menurunkan independensi.Gejala lainnya adalah accounting anomaly yang ditandai dengan perencanaan anggaran yang tidak matang, pencairan dana yang terlambat dapat berpotensi terjadinya transaksi fiktif. Dosen yang dijadikan pemegang kas menghadapi konflik peran serta pemegang kas yang tidak memiliki latarbelakang keuangan menyebabkan keterlambatan dalam pencatatan pelaporan keuangan.
2.      Auditor internal berperan dalam mendeteksi tindakan fraud akan tetapi peran manajemen puncak dalam melakukan review atas pengendalian internal memberikan peran yang lebih penting dalam upaya pendeteksian tindakan fraud sesuai dengan konsep ―tone at the top‖. Tugas Auditor internal untuk melakukan penilaian resiko tindakan fraud belum sepenuhnya dilakukan oleh auditor dilingkungan Perguruan Tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar