TUGAS
3
RINGKASAN
JURNAL
Judul :
GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR
INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN FRAUD DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI (STUDI
KUALITATIF )
Penulis : Rozmita Dewi YR dan R. Nelly Nur Apandi
Universitas : Universitas Pendidikan Indonesia
Abstract
The purpose of this study is to analyze the
symptom of fraud and the role of internal auditor to detect fraud. Informan are
auditors internal and faculty members. The sampling technique that is used in
this paper is purposive sampling. The primary data is used in this
research.Qualitative method is used by the researchers. The results showed that
potential symptom occurs in university are due to lack of internal control and
accounting anomaly. The weakness of internal control occurs because of inadequate
accounting system and lack of internal control from management while the
accounting anomaly occurs because worse of budgeting and delay of funding. On
the other hand, review from top management is more important than role of
internal auditor. Eventhough auditors internal have done their assignment to
ensure the system run well, they can not do anything without support from the
top management. Auditor internal must asses the risk of fraud regulary and
Rector must build culture of anticorruption in university environment to
prevent fraud.
Keywords : Fraud, Symptom and Detection
Fraud
Latar Belakang
Perguruan Tinggi
merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari perorangan,
masyarakat dan atau pemerintah oleh karenanya Perguruan Tinggi memiliki
kewajiban menyampaikan laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber
dana tersebut kepada para stakeholder. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas
dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan
berkualitas yang terbebas dari unsur fraud. Semakin tingginya biaya
pendidikan di tingkat Perguruan tinggi menyebabkan biaya yang dikelola
Perguruan Tinggi menjadi tidak sedikit. Pengawasan yang lebih ketat perlu
dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya perilaku penyimpangan melalui
peningkatan sistem pengendalian intern (internal control system).
Peraturan Pemerintah (PP ) No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP), dalam pasal 4 peraturan tersebut dijelaskan bahwa SNP bertujuan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional. Keberadaan lembaga penjamin mutu tersebut
adalah suatu keharusan sebagai upaya setiap perguruan tinggi memberikan jaminan
mutu proses dan hasil pendidikan kepada stakeholders baik internal
maupun eksternal perguruan tinggi. Beberapa Perguruan Tinggi selain memiliki
bagian Satuan Penjamin Mutu, Perguruan Tinggi juga memiliki bagian Satuan
Pengendalian Internal atau Auditor Internal yang memiliki tugas untuk melakukan
audit dalam bidang manajemen keuangan, akademik, dan sumber
daya.Profesionalisme auditor internal dilingkungan Perguruan Tinggi belum
mencapai tingkat yang memadai, hal ini disebabkan karena tumpang tindihnya
jabatan fungsional dan struktural. Rendahnya pengendalian internal juga terjadi
di Perusahan-Perusahaan publik di Indonesia,berdasarkan hasil studi Bapepam
tahun 2006, fungsi audit internal di Indonesia masih tergolong dalam kategori
yang belum memadai, hasil studi ini masih relevan dan sejalan dengan pernyataan
Anwar Nasution dalam sambutannya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun anggaran 2009
kepada DPR, Selasa 15 September 2009 menyatakan bahwa fungsi audit internal di
Indonesia masih belum efektif.
Belum efektifnya
pengendalian internal di Indonesia, terutama di lingkungan Perguruan tinggi
terbukti dengan munculnya dugaan–dugaan kasus korupsi. Selama tahun 2012
setidaknya telah ada 5(Lima) Perguruan Tinggi yang diduga terlibat tindakan fraud.
Walaupun demikian, hal tersebut masih berupa dugaan sehingga prinsip asas
praduga tak bersalah harus tetap ditegakkan. Tindakan fraud yang terjadi
di lingkungan Perguruan tinggi dapat diantisipasi lebih dini oleh pimpinan
Perguruan Tinggi dengan cara mengidentifikasi jenis fraud yang dilakukan
sehingga dapat diketahui gejala yang mungkin terjadi atas tindakan tersebut.
Association of
Certified Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang
memfokuskan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan penyimpangan. Bentuk
penyimpangan dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) yaitu: penyimpangan pelaporan
keuangan (fraudulent financial reporting), asset misappropriation (penyalahgunaan
aset) dan corruption (Singelton, 2010: 73). Pimpinan Perguruan Tinggi
melalui Internal Audit atau Satuan Pengendalian Internal harus mampu untuk
menangkap redflag dari ketiga bentuk kecurangan tersebut oleh karenanya
diperlukan suatu upaya untuk dapat mendeteksi, mencegah maupun menginvestigasi
terjadinya fraud.
Penelitian yang dilakukan Lisa et al
(1997) menyebutkan bahwa Internal Audit berfungsi membantu manajemen dalam
pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di
suatu organisasi. Albergh (2010: 86) menyatakan bahwa “Not Everyone Is
Honest”, seandainya semua orang jujur maka Perusahaan tidak perlu waspada
dengan tindakan fraud. Akan tetapi banyak orang mengaku telah melakukan
tindakan fraud ketika lingkungan tempat mereka bekerja memiliki
integritas yang rendah, kontrol yang rendah dan tekanan yang tinggi. Ketiga hal
ini akan memicu orang berprilaku tidak jujur. Tindakan fraud dapat
dicegah dengan cara menciptakan budaya kejujuran, sikap keterbukaan dan
meminimalisasi kesempatan untuk melakukan tindakan fraud. Oleh karena itu
dalam lingkungan Perguruan Tinggi hendaknya perlu diidentifikasi symptom dari
tindakan fraud, penilaian secara berkala atas symptom tersebut
serta upaya untuk mengeliminasi tindakan fraud. Penelitian terkait
dengan auditor internal telah banyak dilakukan pada Perusahaan Publik atau
Sektor Pemerintahan akan tetapi penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi
masih relatif jarang, dimana karakter yang berbeda dari organisasi tersebut
memungkinkan adanya symptom yang khas yang harus dikenali oleh auditor.
Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan symptom
fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi serta peran
auditor internal dalam mendeteksi terjadinya fraud.
Hasil
Penelitian
Lack of Internal Control
Gejala fraud yang
paling sering terjadi di lingkungan perguruan tinggi adalah lemahnya
pengendalian internal seperti yang diungkapkan oleh Informan 3 :
“Kewajiban
melakukan pengendalian intern yang dilakukan oleh pihak manajemen, melalui
dekan fakultas atau ketua program studi masih belum dapat dilakukan secara
penuh terkait dengan tumpang tindihnya jabatan struktural dan fungsional serta
beban kerja yang cukup banyak. Disamping itu hasil rekomendasi yang diberikan
audit internal atas pengendalian internal yang belum memadai tersebut belum
sepenuhnya dapat dilakukan”.
Informan 5
mengungkapkan bahwa pemisahan fungsi di level program studi belum dilaksanakan
sepenuhnya. Seperti yang diungkapkan berikut ini :
“Pemisahan fungsi
belum dilakukan secara memadai di level program studi yang memiliki tanggung
jawab sebagai pelaksana anggaran. Ketua program memiliki beban kerja yang cukup
banyak, sebagai pengguna anggaran dia juga yang bertanggungjawab dalam
pelaksanaan kegiatan”.
Pengendalian
intern selain dilakukan oleh pihak manajemen melalui dekan fakultas atau ketua
program, seharusnya pula dilakukan pengendalian intern oleh pihak yang
independen dengan membentuk Satuan Pengendalian Internal. Berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan (Rozmita & Nelly, 2012) menunjukan 21%
Perguruan tinggi dari sampel yang ada belum memiliki bagian yang khusus
melakukan pengendalian internal dalam keuangan padahal jumlah dana yang
dikelola Perguruan Tinggi tidaklah sedikit. Penelitian tersebut juga menunjukan
masih rendahnya upaya perwujudan transparansi dan akuntabilitas perguruan
tinggi terbukti 42,1% dari sampel yang ada, laporan keuangan yang dimiliki oleh
perguruan tinggi yang dijadikan sampel tidak diaudit oleh Auditor Eksternal
(Kantor Akuntan Publik).
Accounting
Anomaly
Selain dari
lemahnya pengendalian internal, gejala lainnya yang terjadi adalah
ketidaknormalan data akuntansi. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan
Informan 5 :
“Dana yang dikelola pada unit entitas
terkecil pada umumnya dilakukan di level program studi/fakultas, dimana
dibeberapa Perguruan Tinggi tugas pengelolaan kas dibebankan kepada dosen
sehingga terjadinya penambahan beban kerja secara struktural. Oleh karenanya
keterlambatan dalam penyampaian laporan pertanggungjawaban penggunaan kas
sering terjadi. Sehingga gejala yang ada selain lemahnya pengendalian internal
adalah Accounting Anomaly yang ditandai dengan adanya penundaan
pencatatan.Hal ini menurut saya dapat disebabkan karena pengelola kas yang
tidak memiliki latar belakang dalam bidang keuangan serta beban pekerjaan yang
cukup tinggi.Sedangkan gejala lainnya yaitu perencanaan anggaran yang belum
matang dapat memicu terjadinya transaksi fiktif karena adanya kegiatan yang
penting untuk dilakukan akan tetapi tidak tercantum pada anggaran tahun
berjalan. Meskipun mekanisme perubahan anggaran telah ada namun hal tersebut
tidak dapat mengatasi secara keseluruhan atas perencanaan anggaran yang tidak
matang. Perencanaan anggaran yang belum matang selain disebabkan oleh penyusun
anggaran itu sendiri dapat pula disebabkan oleh belum adanya standar harga
barang dan jasa, kalaupun sudah ada tetapi standar tersebut belum sepenuhnya
dapat mengakomodir kegiatan yang akan dilakukan”
Gejala fraud lainnya
juga dapat terjadi akibat keterlambatan pencairan dana. Seperti yang dikutip
dari hasil wawancara dengan Informan 4 :
“Persoalan
keterlambatan pencairan dana pun masih menjadi hambatan dalam penyerapan
anggaran. Jika dana yang disampaikan tidak tepat waktu terutama apabila
penyerahan dana yang dilakukan untuk kegiatan akhir tahun dalam jumlah yang
banyak, hal ini dapat memicu terjadinya transaksi fiktif”.
Hal yang
dinyatakan Informan 4 senada dengan yang dinyatakan Informan 5, yang menyebutkan
bahwa keterlambatan pencairan dana juga merupakan permasalahan yang sering
dihadapi. Seperti yang dikutip dalam wawancara berikut ini :
“Keterlambatan
pencairan dana pada awal tahun menyebabkan terjadinya kesulitan dalam
pelaksanaan kegiatan. Transaksi fiktif dapat muncul akibat hal tersebut.
Masalah lain juga yang dihadapi adalah pada saat pelaporan dana tersebut, jika
komitmen pengguna dana dalam melaksanakan anggaran tidak tepat waktupun dapat
memicu terjadinya transaksi fiktif”.
Walaupun anggaran masih menjadi
permasalahan dalam pengelolaan keuangan, akan tetapi beberapa Perguruan tinggi
yang kami jadikan sampel penelitian menunjukan fenomena positif yaitu
peningkatan komitmen Perguruan Tinggi dalam mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas sektor publik. Sistem penyusunan anggaran yang sudah memadai pun
banyak dimiliki oleh berbagai perguruan tinggi diantaranya seperti yang
diungkapkan oleh Informan 4 :
“Penyusunan
anggaran pada perguruan tinggi kami sudah dilaksanakan dengan system online mulai
dari perencanaan, pengajuan dana sampai dengan pelaporan penggunaan dana, hal
ini sudah dilaksanakan sebelum tahun 2008. Pada tahun tahun kedepan upaya
peningkatan akurasi pencatatan dapat terus ditingkatkan dengan system yang ada”
Hal senada diungkapkan
oleh Informan 3 mengungkapkan bahwa :
“Sistem akuntansi keuangan yang
terintegrasi pada web universitas sudah dimiliki pada perguruan tinggi kami
sejak tahun 2010, dimana semua Program Studi wajib untuk mengisi anggaran
secara online serta menyampaikan laporan pertanggungjawaban dana secara online.
Hal ini meningkatkan proses verifikasi bagian anggaran atas pagu yang telah
ditetapkan”
Hal yang diungkapkan dalam wawancara
diatas mengenai system penganggaran yang berkuaitas dapat memacu dalam proses
transparansi dan akuntabilitas sejalan dengan yang diungkapkan (Prof.Dr.Azhar
Susanto, 1998) bahwa sistem akuntansi yang memadai akan mampu menghasilkan
informasi yang berkualitas yaitu informasi yang memenuhi unsur relevan, tepat
waktu, akurat dan reliable. Sehingga hal tersebut dapat mencegah terjadinya accounting
anomaly.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa
1. Gejala
fraud yang berpotensi timbul di lingkungan perguruan tinggi adalah lack
of internal control yang disebabkan oleh belum adanya pemisahan fungsi pada
level terkecil pengguna anggaran, kurangnya pengendalian internal yang
dilakukan oleh pimpinan unit terkecil dekan terhadap pelaporan
pertanggungjawaban dana. Keterlibatan dosen sebagai auditor internal dapat
berpotensi menurunkan independensi.Gejala lainnya adalah accounting anomaly yang
ditandai dengan perencanaan anggaran yang tidak matang, pencairan dana yang
terlambat dapat berpotensi terjadinya transaksi fiktif. Dosen yang dijadikan
pemegang kas menghadapi konflik peran serta pemegang kas yang tidak memiliki
latarbelakang keuangan menyebabkan keterlambatan dalam pencatatan pelaporan
keuangan.
2. Auditor
internal berperan dalam mendeteksi tindakan fraud akan tetapi peran
manajemen puncak dalam melakukan review atas pengendalian internal
memberikan peran yang lebih penting dalam upaya pendeteksian tindakan fraud sesuai
dengan konsep ―tone at the top‖. Tugas Auditor internal untuk melakukan
penilaian resiko tindakan fraud belum sepenuhnya dilakukan oleh auditor
dilingkungan Perguruan Tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar